- See more at: http://cybersidakaton.blogspot.com/2012/11/cara-membuat-link-blog-berwarna-warni.html#sthash.q4G0GS7m.dpuf

Monday 26 January 2015

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Lengkap

PBB pada awalnya merupakan pajak pusat yang alokasi penerimaannya dialokasikan ke daerah-daerah dengan proporsi tertentu, namun demikian dalam perkembangannya berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD pajak ini khususnya sektor perkotaan dan pedesaan menjadi sepenuhnya pajak daerah.
Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan
Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:
  • Bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara yang penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, oleh sebab itu perlu peningkatan peran serta masyarakat,
  • Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang/badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu wajar apabila kepada mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.
Pengertian dan Dasar hukum PBB
PBB dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang didasarkan pada azas kenikmatan  dan manfaat, dan dibayar setiap tahun. PBB pengenaannya didasarkan padaUndang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994. Namun demikian dalam perkembangannya PBB sektor pedesaan dan perkotaan menjadi pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 mulai tahun 2010.
Dalam bab I diatur tentang Ketentuan Umum yang memberikan penjelasaan tentang istilah-istilah teknis atau definisi-definisi PBB seperti pengertian :
  1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Pengertian ini berarti bukan hanya tanah permukaan bumi saja tetapi betul-betul tubuh bumi dari permukaan sampai dengan magma, hasil tambang, gas material yang lainnya.
  2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara  tetap pada tanah dan/atau perairan.
Dalam pasal 77 ayat (2) Undang-Undang PDRD, disebutkan bahwa termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
  • jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut,
  • jalan TOL,
  • kolam renang,
  • pagar mewah,
  • tempat olah raga,
  • galangan kapal, dermaga,
  • taman mewah,
  • tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak,
  • fasilitas lain yang memberikan manfaat. 
Objek PBB
Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan, dimana pengertian bumi dan/atau bangunan adalah sebagai berikut :
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bangunan, adalah kontruksi teknik yang di tanam atau di lekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Tidak semua objek bumi dan bangunan akan dikenakan PBB, ada juga objek yang di kecualikan dari pengenaan PBB adalah apabila sebagai berikut :
  • digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksud-kan untuk memperoleh keuntungan,
  • digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu,
  • merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum di bebani suatu hak,
  • digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,
  • digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Subjek PBB
Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau  memiliki, menguasai, dan/atau  memperoleh manfaat atas bangunan. Melihat pengertian subjek pajak tersebut, tidak jarang ada objek pajak yang diakui oleh lebih dari satu orang subjek pajak, yang berarti ada satu objek pajak tetapi memiliki beberapa wajib pajak. Bagaimana kalau hal ini terjadi, apakah semua menjadi terhutang PBB?
Apabila terjadi statu kejadian dimana satu objek pajak dimiliki/dikuasai oleh beberapa subjek pajak atau satu objek pajak belum diketahui dengan jelas siapa Wajib Pajaknya, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah melihat perjanjian (agreement) antara para pihak yang berkepentingan terhadap objek pajak tersebut. Dalam perjanjian tersebut  salah satu pasalnya biasanya membahas siapa yang akan melakukan kewajiban pembayaran pajak termasuk pajak Bumi dan Bangunan. Apabila dalam perjanjian tidak disebutkan atau memang terjadi lebih dari satu yang memanfaatkan objek pajak sehingga belum diketahui siapa yang menjadi wajib pajak Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajaknya (UU No 12 tahun 1994 Pasal 4 ayat 3).
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, apakah setiap yang membayar PBB adalah pemilik atas objek pajak tersebut? Surat tanda pemberitahuan atau dikenal dengan sebutan SPPT (Surat Pembayaran Pajak Terhutang) atau bukti pelunasan bukanlah bukti pemilikan hak. Surat Tagihan Pajak atau bukti pembayaran PBB adalah semata mata untuk kepentingan perpajakan dan tidak ada kaitannya dengan status atau hak pemilikan atas tanah dan/atau bangunan.
Penilaian
Berbicara masalah PBB tidak akan terlepas dari nilai properti itu sendiri. Karena besarnya PBB yang akan dibayarkan oleh WP akan tergantung pada nilainya. Penilaian objek PBB pedesaan dan perkotaan meliputi penilaian objek tanah dan bangunan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak (pemerintah daerah menurut UU No. 28 Tahun 2009) untuk menentukan NJOP yang akan dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak.
Untuk menilai objek properti tersebut digunakan beberapa metode penilaian sebagai berikut:
1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach).
  • NJOP dihitung dengan cara membandingkan Objek pajak yang sejenis dengan Objek lain yang telah diketahui harga pasarnya.
  • Pendekatan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan NJOP tanah, namun dapat juga dipakai untuk menentukan NJOP bangunan.
2. Pendekatan Biaya (Cost Approach).
Pendekatan ini digunakan untuk menentukan nilai tanah atau bangunan terutama untuk menentukan NJOP bangunan dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan baru yang sejenis dikurangi dengan penyusutan phisiknya.
3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
  • Pendekatan ini digunakan untuk menentukan NJOP yang tidak dapat dilakukan berdasarkan pendekatan data pasar atau pendekatan biaya, tetapi ditentukan berdasarkan hasil bersih objek pajak tersebut,
  • Pendekatan ini terutama digunakan untuk menentukan NJOP galian tambang atau objek perairan.
Jenis Objek Pajak
1. Objek Pajak Umum yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi bangunan umum dengan luas tanah berdasarkan kriteria tertentu. Objek pajak umum sendiri dibedakan menjadi:
A. Objek pajak standar, kriteria untuk objek pajak ini adalah:
  • Luas tanah ≤ 10.000 m²
  • Jumlah lantai bangunan ≤ 4 lantai
  • Luas bangunan ≤ 1000 m²
B. Objek pajak non standar, kriterianya ialah:
  • Luas tanah ≥ 10.000 m²
  • Jumlah lantai bangunan ≥ 4 lantai
  • Luas bangunan ≥ 1000 m²
2. Objek Pajak Khusus yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi bangunan khusus. Kriteria bangunan khusus ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk dan keberadaannya yang memiliki arti khusus. Contoh objek pajak khusus adalah pelabuhan, Bandar udara, jalan tol, tempat wisata, dan lain-lain.
Pendataan Objek Pajak
Proses awal sebelum objek pajak dikenakan PBB terlebih dahulu harus dilakukan proses pendataan, yaitu proses pengumpulan data objek yang nantinya akan digunakan untuk melakukan penilaian dan penetapan PBB. Pelaksanaan pendataan ini dilakukan dengan menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) untuk objek berupa tanah dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP) jika ada bangunannya, sedangkan untuk data-data tambahan dilakukan dengan menggunakan Lembar Kerja Objek Khusus (LKOK) atau pun dengan lembar catatan lain yang menampung informasi tambahan  sesuai keperluan penilaian masing-masing objek pajak.
SOP
Nomor Objek Pajak (NOP)
Pada setiap objek yang telah di data akan di berikan penomoran yang bersifat unik dan permanen yang disebut dengan Nomor Objek Pajak (NOP), dimana nomor ini yang akan mengidentifikasi setiap objek pajak. Nomor ini bersifat unik, dimana setiap objek di berikan satu nomor yang berbeda dengan objek yang lainnya dan bahkan nomor objek ini tidak ada yang sama di seluh wilayah Indonesia.
Selain unik nomor ini juga bersifat permanen dimana nomor ini akan tetap selama objek tersebut tidak mengalami perubahan walaupun berubah nama subjek pajaknya, misalnya dalam kasus jual beli tanah antara A dan B, B sebagai pembeli tanah akan mempunyai Nomor Objek Pajak atas objek pajak yang sama dengan pada waktu dimiliki oleh A sebagai penjual tanah. Contoh pemberian NOP untuk objek pajak adalah sebagai berikut ini.
  • Misalnya sebidang tanah memiliki NOP sebagai berikut 31.73.050.001.004-0056.0,
  • Kode 31.73.050.001 adalah kode wilayah kelurahan Rawasari, kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat,
  • Kode 004 adalah kode blok 004 di kelurahan tersebut,
  • Kode 0056 adalah nomor urut 0056 di blok tersebut,
Tanda khusus 0, adalah penomoran objek tertentu untuk mempermudah identifikasi dan pengelompokan objek pajak, misalnya kode 9, untuk objek jenis strata title (penggunaan bersama misal rumah susun/ appartemen).
NOP
Penilaian Objek Pajak
Demi efektifitas dan efisiensi administrasi mengingat jumlah objek pajak yang diadministrasikan sangat banyak dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan jumlah tenaga penilai dan waktu pelaksanaan penilaian yang tersedia sangat terbatas, maka pelaksanaan penilaian dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu penilaian massal yang diterapkan bagi objek dengan kriteria standar dan penilaian secara individual yang diterapkan untuk objek pajak non-standar dan objek khusus. Pembedaan ini lebih ditekankan pada nilai ekonomis dan potensi pengenaan pajak dari objek yang bersangkutan.
1. Penilaian Massal.
Dalam cara penilaian ini NJOP bumi dihitung berdasarkan Nilai Indikasi Rata-rata (NIR) yang terdapat pada setiap Zona Nilai Tanah (ZNT). ZNT adalah zona geografis yang terdiri dari sekelompok objek pajak yang memiliki NIR sama dan dibatasi oleh batas penguasaan/pemilikan objek pajak dalam satu wilayah administrasi pemerintahan. Sedangkan NJOP bangunan dihitung berdasarkan Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB). Perhitungan penilaian massal dilakukan terhadap objek pajak dengan menggunakan program komputer konstruksi umum (Computer Assisted Valuation/CAV).
NIR
2. Penilaian Individual
Cara penilaian ini diterapkan untuk objek pajak yang bernilai tinggi, baik  objek pajak khusus, ataupun objek pajak umum yang telah dinilai dengan CAV namun hasilnya tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya karena keterbatasan aplikasi program.
Proses penghitungan nilai dilaksanakan dengan menggunakan formulir penilaian  yang tersedia khusus untuk masing-masing jenis penggunaan. Setiap penilaian harus memperhatikan tanggal penilaian yang menjadi dasar ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan yaitu per 1 Januari tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam pasal 82 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Pelaksanaan Penilaian
Pelaksanaan penilaian terhadap objek pajak dilakukan secara massal atau secara individual dalam proses pelaksanaan dilakukan melalui cara sebagai berikut :
a. Penilaian tanah.
Dalam proses penentuan nilai tanah, maka pelaksanaan penilaiannya dimulai dengan pembuatan konsep sket/peta ZNT dan penentuan nilai indikasi rata-rata (NIR) menggunakan metode perbandingan data pasar. Peta ZNT ini dibuat per satuan desa/kelurahan yang dituangkan dalam suatu peta dengan dibuat warna khusus yang membatasi setiap ZNT.  Nilai bumi ditentukan terlebih dahulu melalui perbandingan dengan data pasar tanah di lingkungan sekitar. Data pasar tanah tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti broker, penjual langsung, lelang, PPAT dan lain-lain.
Tanah
Kemudian setiap data di atas diberikan penyesuaian untuk memperoleh estimasi nilai pasar.pasarb. Penilaian bangunan diawali dengan penyusunan Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB).
Untuk menyusun atau membuat DBKB digunakan metode survai kuantitas terhadap model bangunan yang dianggap dapat mewakili kelompok bangunan tersebut dan dinilai dengan dasar perhitungan analisa BOW (Burgelijke Openbare Werken). Dengan menggunakan survai kuantitas dan dasar perhitungan analisis BOW yang merupakan perhitungan dengan pendekatan biaya, akan diperoleh biaya pembuatan baru bangunan atau biaya penggantian baru dari bangunan. Sehubungan dengan kebutuhan program komputer, maka biaya komponen bangunan perlu dikelompokkan kedalam biaya komponen utama, komponen material dan komponen fasilitas bangunan. Metode survai kuantitas dipilih menjadi dasar  metode yang dipergunakan karena metode inilah yang paling mendasar bila dibandingkan dengan metode perhitungan yang lain, seperti metode unit terpasang, metode meter persegi dan metode indeks.
Penghitungan harga satuan pekerjaan dalam analisa ini menggunakan analisa BOW karena cara ini merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan keseragaman penghitungan biaya pembuatan baru bangunan. Karena cara ini akan memberikan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan cara penghitungan biaya pemborongan pekerjaan di lapangan, maka dalam perhitungan ini  digunakan faktor koreksi.
bng
Konstruksi bangunan sebagai satu kesatuan terdiri dari beberapa biaya satuan pekerjaan. Biaya satuan pekerjaan tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga) komponen, yaitu biaya komponen utama, biaya komponen material dan biaya pembuatan fasilitas. Keseluruhan komponen tersebut disusun dalam suatu daftar yang disebut sebagai daftar biaya komponen bangunan (DBKB).
Dalam penerapan DBKB ini, objek-objek berupa bangunan yang dinilai dilakukan pengelompokan berdasarkan jenis penggunaan bangunan (JPB) sesuai dengan tipe konstruksinya. Dalam hal ini ada 16 jenis pengelompokan.
Proses Penghitungan Nilai
Setelah dilakukan validasi terhadap data yang terdapat dalam SPOP dan LSPOP maka selanjutnya dilakukan perhitungan nilai. Proses CAV dapat dilakukan apabila data ZNT, DBKB objek pajak standar dan data objek (SPOP dan LSPOP) sudah tersedia.
1.  Penghitungan nilai tanah
NIR diketahui berdasarkan kode ZNT sebagaimana tercantum dalam SPOP. Untuk menentukan nilai objek pajak bumi, NIR dicari dalam tabel ZNT berdasarkan kode ZNT, kemudian dikalikan dengan luas bumi. Contoh : jika Nilai Indikasi Rata-rata (NIR) adalah Rp 300.000,- dan luas tanah = 100 m2, maka NJOP bumi = 100m2 x Rp 300.000,- = Rp 30.000.000,-
2. Penghitungan nilai bangunan
Dalam pelaksanaan perhitungan nilai bangunan, harus ditentukan besarnya nilai komponen bangunan menurut masing-masing karateristik objek tersebut. NJOP bangunan ditentukan berdasarkan pada :
  • Kelas/tipe/bintang dari bangunan.
  • Komponen utama bangunan.
  • Komponen material bangunan.
  • Komponen fasilitas bangunan.
  • Komponen fasilitas yang perlu disusutkan.
  • Penyusutan. Tingkat penyusutan bangunan berdasarkan umur efektif, keluasan dan kondisi bangunan.
Dasar Pengenaan PBB
Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Penentuan NJOP ini dilakukan dengan melakukan penilai terhadap objek pajak baik yang dilakukan secara masal atau individual.
Istilah NJOP ini telah luas beredar di masyarakat bahwa NJOP sama dengan nilai transaksi atau dianggap sebagai harga dasar tanah, terutama apabila terjadi pembebasan tanah atau apabila masyarakat menawarkan tanahnya untuk di jual dengan berpedonan pada NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB. Secara tegas Undang-Undang No 12 tahun 1994 menjelaskan yang dimaksud dengan NJOP mempunyai pengertian sebagai berikut:
“Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti”.
Penentuan NJOP
Penentuan besarnya NJOP adalah proses penting mengingat NJOP ini yang akan menentukan besarnya pajak yang di bayar oleh masyarakat. Dalam Keputusan Direktur Jenderal No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 dijelaskan bagaimana menentukan besarnya NJOP untuk setiap sektor PBB. Dalam Keputusan tersebut diatur sebagai berikut :
1. NJOP atas Sektor Pedesaan/Perkotaan
Sektor Pedesaan/Perkotaan adalah Obyek PBB yang meliputi kawasan pertanian, perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta obyek khusus perkotaan. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor pedesaan/ perkotaan ditentukan sebagai berikut:
  1. Obyek Pajak berupa tanah adalah sebesar nilai konversi setiap Zona Nilai Tanah (ZNT) ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual permukaan bumi (tanah) sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998
  2. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
2. NJOP atas Sektor Perkebunan
Sektor Perkebunan adalah Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan benih, penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman, keragaman jenis tanaman termasuk sarana penunjangnya. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor perkebunan ditentukan sebagai berikut:
  1. Areal kebun adalah sebesar NJOP berupa tanah ditambah dengan Jumlah Investasi Tanaman Perkebunan sesuai dengan Standar Investasi menurut umur tanaman,
  2. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam kawasan perkebunan adalah sebesar NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
  3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
3. NJOP atas Sektor Kehutanan
Sektor Kehutanan adalah Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan hutan dan budidaya hutan. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor kehutanan ditentukan sebagai berikut:
  1. Areal hutan adalah sebesar NJOP berupa tanah ditambah dengan Jumlah Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri menurut umur tanaman,
  2. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam kawasan hutan adalah sebesar NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
  3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
4. NJOP atas Sektor Pertambangan
Sektor Pertambangan adalah Obyek PBB yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya.
5. NJOP atas Sektor Perikanan
Usaha Bidang Perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan yang memiliki ijin usaha untuk menangkap atau membudidayakan sumber daya ikan, termasuk semua jenis ikan dan biota perairan lainnya serta kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial. Besarnya NJOP atas obyek pajak usaha bidang perikanan laut ditentukan sebagai berikut:
  1. Areal penangkapan ikan adalah 10 x hasil bersih ikan dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan,
  2. Areal pembudidayaan ikan adalah 8 x hasil bersih ikan dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan,
  3. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
  4. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
Sedangkan besarnya NJOP atas obyek pajak usaha bidang perikanan laut ditentukan sebagai berikut:
  1. Areal pembudidayaan ikan darat adalah sebesar NJOP berupa tanah di sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya ditambah standar biaya investasi tambak menurut jenisnya,
  2. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar NJOP berupa tanah di sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
  3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
6. NJOP atas Objek Pajak yang Bersifat Khusus
Obyek Pajak Khusus adalah obyek pajak yang memiliki jenis konstruksi khusus baik ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk maupun keberadaanya memiliki arti khusus seperti: lapangan golf, pelabuhan laut, pelabuhan udara, jalan tol, pompa bensin, dan lain-lain. Besarnya NJOP atas obyek pajak yang bersifat khusus ditentukan sebagai berikut:
  1. Areal tanah adalah sebesar NJOP berupa tanah di sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
  2. Areal perairan untuk kepentingan pelabuhan, industri, lapangan golf serta tempat rekreasi adalah sebesar nilai jual yang ditentukan berdasarkan korelasi garis lurus ke samping dengan klasifikasi NJOP permukaan bumi berupa tanah sekitarnya,
  3. Areal perairan untuk kepentingan PLTA adalah sebesar 10 x (10% dari Hasil bersih dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan),
  4. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
njop
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Pelaksanaan perhitungan pengenaan pajak PBB ditentukan  berdasarkan  Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah dikurangi dengan NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan R I. Nomor : 201/KMK.04/2000tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan PBB.
Setiap wajib pajak diberikan 1 kali Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai lebih dari 1 objek pajak, maka sesuai penjelasan UU PBB, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar.
Besarnya  Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 untuk setiap wajib pajak. Batasan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 mengandung maksud bahwa apabila ada Daerah Tingkat II atau Kabupaten / Kota yang ingin menetapkan  NJOP TKPnya disesuaikan dengan kondisi, lingkungan ekonominya, kurang dari Rp 12.000.000,00, misalnya Daerah Bekasi menetapkan Rp 8.000.000,00, Semarang Rp 6.000.000,00, dan sebagainya hal ini masih diperkenankan.
Penetapan besarnya NJOP TKP sebagaimana dimaksud dalam Peraturan tersebut di atas untuk setiap daerah Kabupaten / Kota, ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) besarnya NJOPTKP ditentukan paling rendah adalah Rp. 10.000.000,00 dan penetapannya dilakukan oleh masing-masing Kepala Daerah.
Dasar Perhitungan PBB dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Dasar  perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Berdasarkan Peraturan Pemerintah  Nomor 25 tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 Tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak  Untuk Penghitungan PBB, maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) untuk perhitungan PBB ditentukan sebagai berikut:
1. Sebesar 40% dari NJOP untuk:
  • Objek Pajak Perkebunan,
  • Objek Pajak Kehutanan,
  • Objek Pajak Pertambangan,
  • Objek PBB lainnya  apabila NJOP ≥ 1 milyar rupiah,
2. Sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar rupiah. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dalam perhitungan PBB tidak lagi mengenal besarnya NJKP.
Tarif PBB
Tarif PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah tetap sebesar 0.5%, sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 80 ayat (1) dan (2) adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Perhitungan PBB
Perhitungan PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah sebagai berikut:
tarif
Sedangkan perhitungan PBB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 81 adalah sebagai berikut:
tarif baru
NJOP dikelompokkan kedalam klas-klas yang disebut dengan klasifikasi NJOP baik untuk bumi maupun bangunan. Klasifikasi NJOP bumi terdiri dari 2(dua) kelompok yaitu kelompok A (50 klas) dengan klas tertinggi Rp. 3.100.000,- per m2dan klas terendah Rp. 140,- per m2 dan kelompok B (50 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 68.545.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 3.375.000,- per m2.
Klasifikasi NJOP bangunan terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok A (20 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 1.200.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 50.000,- per m2 dan kelompok B (20 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 15.250.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 1.516.000,- per m2.
Dasar Penagihan PBB
Dasar penagihan PBB terdiri dari tiga macam yaitu:
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
SPPT adalah surat yang digunakan oleh pemerintah untuk memberitahukan besarnya pajak yang terhutang kepada Wajib Pajak. Surat pemberitahuan ini diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Pajak yang terhutang harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
2. Surat Tagihan Pajak (STP).
STP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:
  • Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SPPT, yaitu melampaui batas waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
  • Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam skp, yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan oleh Wajib Pajak.
  • Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.
Saat jatuh tempo STP adalah  satu bulan sejak diterimanya STP oleh Wajib Pajak. Konsekuensi jika saat jatuh tempo STP terlampaui adalah adanya denda administrasi dalam STP. Besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak terlambat membayar pajaknya, melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT adalah sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
3. Surat Ketetapan Pajak (skp).
SKP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:
  • Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang disampaikan melewati 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak dan setelah ditegur secara tertulis ternyata tidak dikembalikan oleh Wajib Pajak sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
  • Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak berdasarkan SPOP yang dikembalikan Wajib Pajak.
Pajak Yang terutang berdasarkan skp harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak. Jadi, bila seorang Wajib Pajak menerima SKP pada tanggal 1 Maret 2009, ia sudah harus melunasi PBB selambat-lambatnya tanggal 31 maret 2009. Tanggal 31 Maret 2009 ini disebut juga tanggal jatuh tempo SKP.
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh pengembalian SPOP Lewat 30 (tiga puluh) hari setelah diterima Wajib Pajak adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi 25% dihitung dari pokok pajak.
Sedangkan jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya, adalah selisish pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya dengan pajak yang terutang berdasarkan SPOP ditambah denda administrasinya 25% dari selisih pajak yang terutang.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Keberatan
Hal yang mendasari pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak adalah:
1. Wajib Pajak merasa bahwa besarnya pajak terutang pada SPPT atau SKP tidak sesuai dengan keadaan objek pajak yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ada beberapa kesalahan seperti:
  • kesalahan pada luas tanah/luas bangunan,
  • kesalahan klasifikasi tanah dan atau bangunan,
  • kesalahan pada penetapan/pengenaan pajak terutang,
2. Terdapat perbedaan penafsiran mengenai peraturan perundang-undangan tentang pajak (PBB) antara Wajib Pajak dengan aparat, misalnya:
  • Penetapan Subjek Pajak sebagai Wajib Pajak,
  • Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB.
3. Syarat formal pengajuan keberatan adalah sebagai berikut:
  1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan diajukan kepada Kepala KPP Pratama yang menerbitkan SPPT/SKP dengan melampirkan SPPT/SKP (asli/Foto copy) dan surat kuasa dalam hal dikuasakan pada pihak lain.
  2. Diajukan masing-masing setiap tahun dengan alasan yang  jelas dan mencantumkan besarnya PBB menurut  perhitungan Wajib Pajak.
  3. Diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT/SKP oleh Wajib Pajak, kecuali dapat menunjukkan alasan  diluar kekuasaannya.
  1. WP dapat memperkuat alasan keberatannya dengan cara melampirkan bukti pendukung antar lain :
  • Foto Copy Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, atau bukti identitas WP lainnya.
  • Foto Copy bukti pelunasan PBB tahun terakhir.
  • Fot Copy bukti pemilikan hak atas tanah/sertifikat ;
  • Foto Copy bukti surat ukur/gambar situasi;
  • Foto Copy Akte jual beli / segel;
  • Foto Copy surat Penunjukan Kaveling;
  • Foto Copy Ijin Mendirikan Bangunan;
  • Foto Copy Ijin Penggunaan Bangunan ;
  • Surat keterangan Lurah / Kepala  Desa;
  • Foto copy bukti resmi lainnya.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Banding
Wajib Pajak yang tidak atau belum puas terhadap Keputusan atas penolakan keberatan yang diajukannya, maka dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak. Adapun syarat pengajuan banding adalah sebagai berikut:
  • Diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan,
  • Tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas,
  • Dilampiri surat keputusan atas keberatan.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Pengurangan
Pengurangan atau pemberian keringanan pajak terutang dapat diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal:
  1. Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya. Besarnya pengurangan yang diperbolehkan adalah setinggi-tingginya 75%, berdasarkan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan mengingat penghasilan Wajib Pajak dan besar PBB-nya.
  2. Wajib Pajak orang pribadi dalam hal objek pajak terkena bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman. Pengurangan atas hal seperti tersebut dapat diberikan pengurangan sampai dengan 100 % dari besarnya pajak terutang, berdasarkan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan mengingat persentase kerusakan.
  3. Wajib Pajak anggota Veteran pejuang kemerdekaan dan Veteran pembela kemerdekaan termasuk janda /dudanya. Pemberian pengurangan ditetapkan sebesar 75%, tetapi apabila permohonan pengurangan diajukan oleh janda/duda veteran yang telah kawin/menikah lagi, maka besarnya persentase pengurangan yang dapat diberikan ialah maximal 75% (bisa lebih rendah dari 75%).
Pemberian keputusan atas permohonan pengurangan selambat-lambatnya 60 hari sejak tanggal diterimanya permohonan pengurangan, apabila lewat 60 hari dan keputusan belum diterbitkan, maka permohonan pengurangan dianggap diterima. Pengurangan untuk masing-masing wilayah Daerah Tk.II kabupaten atau Kota, hanya diberikan untuk satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan Wajib Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari satu objek pajak, maka objek pajak yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah objek pajak yang menjadi tempat domosili Wajib Pajak. Kemudian dalam hal Wajib Pajak yang memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari satu objek pajak adalah Wajib Pajak badan, maka objek pajak yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah  salah satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan Wajib Pajak.
Persyaratan permohonan pengurangan wajib diajukan oleh WP ke KPP Pratama dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala KPP Pratama dengan mencantumkan persentase pengurangan yg dimohonkan,
  2. Untuk SKP hanya diberikan atas pokok pajak,
  3. Diajukan dalam jangka waktu 3 bln sejak terima SPPT/SKP atau sejak bencana,
  4. Dapat kolektif ( Ket. s/d Rp100.000,- ),
  5. Kolektif selambatnya tgl 10 Januari (utk pengajuan sebelum SPPT terbit).
Atas pengenaan PBB terhadap perguruan tinggi swasta berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-10/PJ.6/1995, apabila memenuhi salah satu kriteria berikut ini:
  1. SPP dan pungutan lain =/> 2 juta / tahun,
  2. Luas bangunan =/> 2.000 m2,
  3. Lantai bangunan =/> 4 lantai,
  4. Luas Tanah =/> 20.000 m2,
  5. Jumlah mahasiswa =/> 3.000 orang.
Maka terhadap PBB tersebut akan dikenakan 50% dari yang seharusnya.
Demikian pula untuk rumah sakit swasta institusi pelayanan sosial masyarakat (ISPM) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 796/KMK.04/1993 tanggal 20 Agustus 1993 apabila memenuhi salah satu kriteria  minimal 25% dari jumlah tempat tidur diperuntukkan bagi pasien tidak mampu dan sisa hasil usaha di reinvestasikan lagi untuk rumah sakit maka terhadap PBB yang terhutang tersebut akan dikenakan 50% dari yang seharusnya.
Bagi rumah sakit swasta pemodal yang bukan merupakan rumah sakit swasta  tetap dikenakan PBB sepenuhnya. Kemudian atas bumi dan atau bangunan yang dikuasai/dimiliki/ dimanfaatkan oleh rumah sakit tetapi secara nyata tidak dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan secara langsung dan terletak di luar lingkungan rumah sakit, tetap dikenakan PBB sepenuhnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Pembetulan
Apabila terjadi salah tulis, salah hitung atau kekeliruan dalam penerapan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam SPPT, SKP maupun STP dapat dibetulkan baik atas permintaan WP maupun tidak. Pembetulan dapat dilakukan tanpa batas waktu akan tetapi apabila pembetulan tersebut mengakibatkan jumlah pajak terutang bertambah besar, maka pembetulan tersebut hanya dapat dilakukan apabila hak untuk menetapkan pajak belum kedaluwarsa (10 tahun). Hasil proses pembetulan berupa sama, lebih kecil atau lebih besar dari pajak terutang.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Pembatalan
Dalam hal objek pajak tidak ada, atau hak dari subjek pajak terhadap objek pajak batal karena putusan pengadilan, atau objek pajak berubah peruntukan menjadi fasilitas umum atau fasilitas sosial atau bukti tertentu lainnya, maka dapat dilakukan pembatalan atas SPPT, SKP maupun STP.
Daluwarsa PBB
Dasar hukum terhadap daluarsa PBB adalah sebagai berikut:
  1. Pasal 23 UU PBB,
  2. Pasal 13 ayat (1) UU KUP 2000 dan 2007,
  3. Pasal II angka 1 dan angka 2 UU KUP 2007.
Berdasarkan aturan tersebut pajak PBB mempunyai 2(dua) jenis daluwarsa yaitu :
1. Daluwarsa Penetapan
Penetapan pajak menjadi daluwarsa setelah lewat waktu yang ditentukan. Namun demikian apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak dibayar atau kurang bayar atau wajib pajak dikenai hukuman karena tindak pidana perpajakan, maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKP ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari pajak yang belum dibayar.
2. Daluwarsa Penagihan
Hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan menjadi daluwarsa setelah masa tertentu terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Namun daluwarsa penagihan ini juga menjadi tertangguh apabila :
  • diterbitkan Surat Tegoran atau Surat Paksa,
  • ada pengakuan hutang dari WP,
  • diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar / KB Tambahan.
Waktu daluarsa penetapan PBB ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut ini:
  • Untuk Tahun Pajak 2002 dan sebelumnya, daluwarsa 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak,
  • Untuk Tahun Pajak 2003 sampai dengan Tahun Pajak 2007, daluwarsa pada akhir Tahun Pajak 2013,
  • Untuk Tahun Pajak 2008 dan seterusnya, daluwarsa 5 (lima) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak.
Restitusi PBB
Sebab-sebab terjadinya restitusi :
  1. Pajak yang dibayar lebih besar dari pajak terutang karena:
    1. Permohonan pengurangan dikabulkan,
    2. Permohonan keberatan dikabulkan,
    3. Permohonan banding dikabulkan,
    4. Perobahan peraturan.
  2. Pajak yang dibayar seharusnya tidak terutang, misalnya pembayaran PBB atas rumah ibadah.
Permohoonan restitusi harus diajukan dalam bahasa Indonesia dengan dilampiri beberapa data pendukung sebagai berikut:
  • fotokopi SPPT/SKP,
  • fotokopi SK Pengurangan/ Keberatan/ Banding,
  • fotokopi STTS (bukti bayar).
KPP Pratama akan melakukan Penelitian/ Pemeriksaan dari permohonan restitusi yang diterima. Dari hasil pemeriksaan kemudian dikeluarkan keputusan berupa :
  • Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran  PBB (SKKP PBB) apabila Pajak yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Terutang,
  • Surat Pemberitahuan (SPb) apabila Pajak yang telah dibayar sama dengan Pajak Terutang,
  • SKP apabila Pajak yang telah dibayar kurang dari Pajak Terutang.
Proses sampai dengan keluarnya Surat Keputusan harus selesai paling lama 12 bulan, setelah lewat waktu harus diterbitkan SKKP PBB. Kemudian dalam waktu satu bulan setelah SKKP PBB harus diterbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran PBB (SPMKP PBB). Apabila lebih dari satu bulan dari penerbitan SPMKP PBB wajib pajak belum menerima restitusi maka WP berhak mendapat imbalan bunga sebesar 2% per bulan dan apabila WP mempunyai hutang pajak lainnya maka restitusi yang akan diterimanya lebih dahulu diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya tersebut.
Kompensasi PBB
Kelebihan pembayaran pajak yang diterima oleh WP tidak hanya dapat diterima melalui cara pemindahbukuan (restitusi) namun juga dapat pula dialihkan untuk pembayaran lainnya (kompensasi). Pengalihan pembayaran tersebut dapat dilakukan untuk:
  • ketetapan PBB tahun yang akan datang,
  • hutang PBB atas nama WP lain,
  • hutang PBB atas nama WP lain untuk tahun yang akan datang.
Pemberian Imbalan Bunga
Sebab-sebab pemberian imbalan bunga dan besarnya imbalan bunga dapat terjadi bila:
  1. Keterlambatan penerbitan SKKP PBB dimana bunga diberikan 2% per bulan terhitung sejak berakhirnya 12 bulan setelah permohonan restitusi diterima sampai dengan terbitnya SKKP PBB.
  2. Keterlambatan penerbitan SPMKP PBB dimana bunga diberikan 2% per bulan terhitung dari sejak berakhir 1 bulan dari terbitnya SKKP PBB sampai dengan terbitnya SPMKP PBB.
  3. Kelebihan pembayaran PBB karena permohonan keberatan/banding diterima sebagian atau seluruhnya, dimana bunga diberikan 2% per bulan maksimum 24 bulan yang terhitung dari sejak pembayaran PBB sampai dengan terbitnya Surat Keputusan Keberatan/Putusan banding.
  4. Kelebihan pembayaran sanksi administrasi karena pengurangan/penghapusan sebagai akibat diterbitkannya keputusan keberatan/banding, dimana bunga diberikan 2% per bulan maksimum 24 bulan yang terhitung dari sejak pembayaran sampai dengan terbitnya Keputusan Pengurangan/ Penghapusan Sanksi Administrasi.
Kesimpulan
  1. PBB merupakan pajak yang bersifat kebendaan artinya besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek,
  2. Objek PBB terdiri dari dua hal yaitu bumi yang merupakan permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya dan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara  tetap pada tanah dan/atau perairan,
  3. Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan,
  4. Sebelum objek pajak dikenakan PBB terlebih dahulu harus didaftarkan menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) untuk objek berupa tanah dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP) jika ada bangunannya,
  5. Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP),
  6. Besarnya  Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,- untuk setiap wajib pajak, sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) besarnya NJOPTKP ditentukan paling rendah adalah Rp. 10.000.000,-
  7. Dasar  perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Besarnya NJKP adalah 40% dari NJOP untuk objek P3 serta objek PBB lainnya  apabila NJOP ≥ 1 milyar rupiah dan sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar rupiah.
  8. Tarif PBB Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah flat sebesar 0.5%, sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 80 ayat (1) dan (2) adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  9. Perbandingan penerapan PBB antara UU No.12 Tahun 1994 dengan UU No. 28 Tahun 2009 :
banding

0 komentar:

Post a Comment