- See more at: http://cybersidakaton.blogspot.com/2012/11/cara-membuat-link-blog-berwarna-warni.html#sthash.q4G0GS7m.dpuf

Monday 26 January 2015

Korelasi Inflasi & Pengangguran

Pendahuluan

            Jumlah orang yang mengaggur adalah jumlah orang dalam suatu negara yang tidak memiliki pekerjaan dan tersedia untuk bekerja pada tingkat upah pasar saat ini. Hal ini dengan mudah dapat dijadikan presentase dengan mengaitkan antara jumlah pengangguran dengan jumlah orang dalam angkata kerja.
            Inflasi adalah kenaikan harga secara umum. Ini diukur dengan mengambil rata – rata tertimbang semua produk konsumen (fekuensi pembelian) dan menganalisis tren keseluruhan harga. Hal ini sering disebut CPI atau Indeks Hagra Konsumen. Hal ini menunjukan presentase berapa banyak kenaikan harga umum dari semua barang – barang konsumsi telah berubah sepanjang tahun. Kedua telaah tersebut telah dianalisis bersama –sama dengan kurva Phillips yang menunjukan tingkat inflasi yang di plot dengan tingkat pengangguran.
Pada tahun 1958, A. W. Phillips mengamati hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran dengan teori nya yang hingga saat ini terkenal dengan Teori Kurva Philips. Kurva Phillips yang digunakan para ekonom saat ini berbeda dengan dari hubungan yang dipelajari Phillips. Salah satu nya adalah mensubtitusi inflasi harga untuk inflasi upah, dan kemudian disebut dengan Kurva Phillips Modern.
Penerapan kurva phillips di Indonesia diharapkan dapat memberi kejelasan mengenai hubungan inflasi dan pengangguran. Namun, penerapaninflation targetting untuk mencapai inflasi yang rendah dalam jangaka panjang dihadapkan pada kebijakan RAPBN yang tujuanya untuk mengurangi pengangguran.
Ada suatu hubungan terbalik atau negatif dari inflasi dan tingkat pengangguran dalam suatu perekonomian. Semakin banyak pengusaha memperluas kesempatan kerja, maka dia harus membayar dengan faktor tertentu produksi, dan pembayaranya lebih banyak dari peningkatan biaya produksi per unit, hal tersebut akan diamati dalam rangka mempertahankan profitabilitas produk pengusaha yang akan mengembangkan harga produk tersebut. Sebuah proses serupa akan dihadapi oleh suatu perekonomian ketika pemerintah bermaksud untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Harga produk atau jasa dimana tenaga kerja terinstal meningkat, maka kenaikan tingkat inflasi akan terlihat melalui ekonomi luar. Dapat disimpulkan bahwa ketika pemerintah berniat untuk menurunkan tingkat pengangguran, maka yang harus ditanggung oleh pemerintah adalah kenaikan tingkat inflasi dalam skala nasional.
Sisi lain dari dampak inflasi adalah meningkatnya jumlah pengangguran. Industri banyak yang mengurangi produksinya, merumahkan karyawannya untuk sementara dan ada pula yang memberhentikan karyawannya untuk sementara dan ada pula yang memberhentikan karyawan dengan alasan untuk melakukan efisiensi. Di banyak Negara sedang berkembang dan Negara-negara miskin, dampak inflasi terhadap lapangan kerja lebih tragis lagi dan angka pengangguran sulit dikendalikan. Kondisi tersebut menjadi lebih parah lagi karena rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia ( SDM ) terutama jika dibandingkan dengan Tenaga Kerja Asing ( TKA ).Kehadiran TKA seringkali memicu kecemburuan di kalangan tenaga kerja dalam negeri, antara lain karena gaji yang mereka terima jauh lebih besar daripada tenaga kerja dalam negeri, di samping itu mereka lebih banyak mendapatkan fasilitas atau kesejahteraan lainnya. TKA yang bekerja di Indonesia umumnya merupakan satu paket dengan kehadiran Penanaman Modal Asing ( PMA ) dengan alas an untuk memasang mesin-mesin dengan teknologi canggihan serta untuk mengoperasikannya. Jika tidak diizinkan membawa sebagian tenaga keja dari Negara asalnya, mereka akan membatalkan diri untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Inflasi yang tinggi akan mendorong produsen melakukan efisiensi terhadap industrinya , seperti merasionalisasikan tenaga kerja dan restrukturisasi atau melakukan perampingan organisasi perusahaannya yang berakibatkan semakin bertambahnya jumlah pengangguran. Penawaran tenaga kerja kian bertambah sedangkan permintaan terhadap tenaga kerja kian berkurang. Tenaga kerja yang menganggur atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) terpaksa harus mau menerima upah atau gaji yang rendah yang tidak jarang pula lebih rendah nilainya daripada harga barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari mereka.Hubungan antara inflasi dan pengangguran mulai menarik perhatian para ekonom pada akhir tahun 1950-an. A.W.Phillips di dalam tulisannya dengan judul The Relation Between Unemployment and The Rate of Change of Money Wage Rate in the United Kingdom yang dimuat pada Jurnal Economica edisi bulan November 1958 halaman 285-300 isinya anatara lain memperkenalkan hubungan yang sistematik antara inflasi dan pengangguran yang terjadi di Inggris. Studi yang dilakukan A.W. Phillips mengenai hubungan antara kenaikan tingkat upah dan tingkat pengangguran pada para pekerja di Inggris.
Pembangunan ekonomi menjadi sangat penting bagi Negara – Negara di seluruh dunia, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Terlebih lagi bagi Negara –Negara yang sedang berkembang, yang awalnya adalah memang Negara bekas jajahan. Namun dalam mewujudkan pembangunan ekonomi itulah, banyak masalah yang terus dihadapi oleh berbagai negara. Masalh  - masalah yang harus dihadapi tersebut adalah ketidak stabilan ekonomi. Ketidak stabilan ekonomi bisa diketahui dengan muncul nya penyakit ekonomi makro. Paling tidak ada tiga penyakit dalam proses pembangunan ekonomi makro, yaitu : masalah inflasi, Pengangguran dan ketimpangan neraca pembayaran (Boediono, 1999).
Masalah pengangguran merupakan momok yang menakutkan apalagi di Negara yang sedang berkembang. Masalah pengangguran juga dihadapi oleh Negara – Negara maju, namun masalah pengangguran di Negara maju lebih mudah diselesaikan, karena hanya berkaitan dengan Bussiness Cycle,berbeda dengan di Negara berkembang, dengan berbagai  masalahnya yakni : Sempitnya lapangan pekerjaan, Ledakan penduduk, Kelangkaan Investasi ataupun masalah sosial politik. Masalah utama dan nyata yang harus dihadapi oleh pemerintah, tetapi perhatian pemerintah tidak harus fokus terhadap pengangguran saja.
Ketidakstabilan ekonomi yang terjadi tidak hanya terkait oleh masalah pengangguran saja, akan tetapi masalah inflasi juga merupakan masalah yang sangat penting yang arus dihadapi oleh semua negara di dunia. Bahkan, peran Bank Sentral di berbagai negara sudah identik dengan peran yang mengadopsi target inflasi, baik secara eksplisit maupun implisit.
Inflasi sering digunakan sebagai target kebijakan pemerintah, karena inflasi juga merupakan masalah yang sangat penting yang tidak bisa diabaikan, karena dapat menimbulkan dampak yang sangat luas. Inflasi pada mulanya di identikan dengan pencetakan uang yang tertalu banyak, yang menyebabkan jumlah uang yang beredar terlalu banyak. Hal tersebut dalpat menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Oleh karena itu inflasi didefinisikan sebagai kenaikan tingkat harga secara umum. Definisi itu sebagai kebalikan dari kenaikan harga hanya pada satu atau dua komoditi saja (Humphreys, 1997).
Inflasi yang tinggi perlu untuk diperhatikan, mengingat dampaknya yang luas bagi perekonomian dan bisa menimbulkan ketidakstabilan, pertumbuhan ekonomi yang lamban dan pengangguran yang kian meningkat. Melihat adanya hal tersebut, mengendalikan inflasi agar stabil begitu penting untuk dilakukan. Menurut Chapra (2000), jika kita hendak melakukan pengobatan, maka tak akan ada pengobatan yang efektif kecuali diarahkan pada masalah utama.
Jika ingin menekan tingkat pengangguran, akan mendorong terjadinya inflasi  yang tinggi dan seterusnya. Pemerintah harus memahami betul beberapa sasaran inflasi dan bagaimana untuk mencapainya. Hal ini bukan merupakan masalah yang mudah, bukan dikarenakan orang – orang tidak suka dengan kenaikan harga, akan tetapi juga karena sasaran inflasi merupakan kunci penentu utama seberapa giat ekonomi menciptakan lapangan pekerjaan.

Kajian Teori
Dalam hukum okun’s law dinyatakan bahwa jumlah pengangguran dalam sebuah Negara akan berbanding terbalik dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Negara tersebut. Namun dari teori ini cenderung mengabaikan pertumbuhan jumlah angkatan kerja di sebuah Negara.
Begitu juga keterkaitanya dengan Inflasi, Mankiw menjelaskan bahwa tingkat Inflasi dan Pengangguran adalh sesuatu hal yang memiliki hubungan yang negatif. Dan hal ini menjadikan trade-off pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian dalam skala makro.

Inflasi
            Inflasi adalah kenaikan harga secara umum dan terus menerus. Terdapat tiga penggolongan inflasi (Reksoprayitno, 2000)
-          Inflasi permintaan (demand-pull inflation)
-          Inflasi penawaran (cost-push inflation)
-          Inflasi campuran (mixed inflation)
Inflasi Permintaan
            Inflasi ini terjadi karena dominanya tekanan permintaan agregat. Tekanan ini di tanadai semakin bergesernya kurva AD ke kanan. Tekanan permintaan ini menyebabkan output perekonomian bertambah namun disertai inflasi (Rahardja, 2008). Inflasi permintaan uang terjadi akibat dari adanya kenaikan permintaan agregat. Teori atau model yang dapat di gunakan dalam analisis ini adalah:
-          Teori Kuantitas Uang
-          Celah Inflasi
-          Pendekatan IS-LM
-          Permintaan – Penawaran Agregatif
Dalam teori Inflasi Permintaan Uang, yang paling tua adalah teori kuantitas uang. Teori ini berpendapat bahwa naik – tururnya tingkat harga tergantung dari naik – turunya jumlah uang yeng beredar dalam perekonomian. Menurut teori ini untuk mengurangi jumlah uang beredar tersebut, rumah tangga akan menaikkan jumlah konsumsi mereka, sehingga permintaan agregat ikut meningkat. Bedasarkan asumsi full-employment, kenaikan permintaan agregat otomatis mengakibatkan kenaikan tingkat harga, oleh karena itu terjadilah inflasi. Proses inflasi ini akan terus terjadi sampai tercapai sebuah keadaan dimana angka perbandingan antara saldo kas nyata dengan pendapatan nyata kembali ke keadaan awal.
Celah inflasi atau inflationary gap, adalah keadaan dimana besarnya inflasi melebihi besarnya tingkat tabungan (saving) dalam keadaan full-employment. Namun pernyataan ini sangat tepat bila digunakan dalam sistem perekonomian tertutup dengan keadaan tanpa kebijakan fiskal. Dalam analisis teori ini terdapat juga deflationary income gap atau besarnya kapasitas produk nasional yang tidak terpakai.
Apabila kita dapat menerima analisis silang Keynes dalam model IS-LM maka dapat dikatakan bahwasemua faktor penyebab bergesernya kurva IS menjauhi titik silang sumbu 0, dan semua faktor yang menyebabkan kurva LM bergeser kekakan, maka merupakan sebab timbulnya inflasi permintaan.
Sama halnya dengan analisis penawaran – permintaan agregat, dalam analisis ini variable tingkat harga berlaku secara eksplisit. Dengan keadaan yang demikian diharapkan analisis ini menjadi lebih baik. Dan dalam analisis ini pula dikatakan bahwa semua gejala yang mengakibatkan kurva LM bergeser atau kurva IS menjauhi tingkat bunga adalah merupakan faktor penyebab timbulnya inflasi permintaan (Reksoprayitno, 2000)
Inflasi Penawaran
            Inflasi ini terjadi karena kenaikan biaya produksi, sehingga menyebabkan penawaran agregat berkurang. Kenaikan biaya produksi ini disebabkan oleh kenaikan harga input pokok (Rahardja, 2008). Terdapat beberapa cara untuk menerangkan inflasi ini, namun cara yang paling umum adalah :
-          Analisis IS-LM
-          Analisis Permintaan – Penawaran Agregat
Dalam analisis IS-LM, inflasi terjadi karna pergeseran kurva LM yang disebabkan oleh perusahaan monopoli yang menggunakan kekuatannya untuk menaikan harga atau oleh para buruh yang menggunakan kekuatan monopsonistiknya dalam menuntut kenaikan gaji. Dalam analisis ini, jika pemerintah tak melakukan kebijakan fiskal maupun moneter maka inflasi akan berhenti dengan sendirinya, yang berarti kurva LM akan bergeser kearah dimana ia menemukan suatu ekuilibrium baru. Namun dalam ekuilibrium ini output nasional lebih sedikit dari pada sebelumnya.
Dalam hal permintaan – penawaran agregat, faktor harga masih mendapat perhatian yang eksplisit. Sebagai akibat dari dimanfaatkanya kedudukan monopoli produsen untuk mencapai keuntungan yang maksimum atau kedudukan monopsoni konsumen untuk memaksimumkan kepuasan mereka dengan upah yang tinggi, maka kurva penawaran agregat akan bergeser ke kiri mendekati tingkat harga. Namun yang paling penting disini adalah, apabila sumber inflasi terhenti maka gejala dari inflasi tersebut juga akan terhenti. Dan apabila dalam keadaan ekuilibrium yang baru maka harga menjadi sangat mahal dan ekuilibrium output nasional lebih kecil (Rahardja, 2008).
Inflasi Campuran
            Inflasi campuran adalah inflasi yang penyebabnya dalah campuran antara demand pull inflation dan cost push inflation. Sekalipun inflasi ini terjadi, yang paling murni terjadi untuk menimbulkan inflasi adalah tarikan permintaan atau dorongan biaya (Rahardja, 2008).
 Pengangguran
Angkatan kerja adalah suatu ukuran yang dilakukan dalam kegiatan produktif seseorang untuk menghasilkan barang dan jasa. Angkatan kerja ini terdiri dari golongan yang bekerja dan golongan yang menganggur. Golongan yang bekerja (employed persons) adalah sebagian masyarakat yang sudah aktif dalam kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangkan untuk sebagian masyarakat lainnya, yang sudah tergolong siap bekerja namun masih mencari pekerjaan dapat dikategorikan dalam golongan menganggur. Pengangguran adalah sebagian dari tenaga kerja yang tidak bekerja maupun sedang mencari pekerjaan, atau sebagian dari tenaga kerja yang tidak terlibat atau tidak berusaha terlibat dalam kegiatan produksi.
Kelompok pengangguran atau bukan angkatan kerja ini terdiri dari golongan yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain yang menerima pendapatan. Seorang pekerja yang tidak dibayar adalah seseorang yang bekerja untuk membantu usaha dalam memperoleh penghasilan/keuntungan yang dilakukan oleh seorang rumah tangga atau bukan anggota rumah tangga tanpa mendapat upah/gaji (Kaufman dan Hotchkiss,1999).
Pengangguran merupakan suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi mereka belum memperoleh pekerjaan tersebut. Namun seseorang yang tidak bekerja namun tak aktif dalam mencari pekerjaan tidak termasuk dalam pengangguran. Pengangguran dapat terjadi disebabkan oleh ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga kerja yang diminta (Sukirno, 1994).
Menurut Putong (2002), pengangguran terbagi menjadi tiga jenis antara lain :
-          Pengangguran siklis
-          Pengangguran Friksional
-          Pengangguran Struktural.
Terjadinya pengangguran siklis adalah apabila permintaan lebih rendah daripada output perekonomian ketika kemampuan ekonomi suatu bangsa lebih dari kemampuan yang dapat seharusnya dicapai. Atau dapat pula dikatakan apabila GNP actual lebih rendah dari GNP potensial. GNP potensial sendiri adalah GNP yang dapat dihasilkan dalam kondisi full employment. Dikatakan pula bahwa pengangguran siklis merupakan jenis pengangguran terpaksa, disebabkan karena banyaknya tenaga kerja yang ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku namun kurangnya lapangan pekerjaan atau bahkan tidak ada lapangan pekerjaan yang tersisa. Pengangguran ini dapat diukur dari jumlah orang yang bekerja dikurangi jumlah orang yang seharusnya mempunyai pekerjaan pada tingkat pendapatan nasional.

Sedangkan untuk pengangguran friksional, terjadinya karena adanya perputaran atau siklus dalam lingkup pekerjaan dan ketenagakerjaan. Dapat pula terjadi karena adanya angkatan kerja baru yang siap memasuki lapangan kerja dan adapula yang keluar dari pekerjaan. Dapat juga dikatakan bahwa pengangguran friksional merupakan orang yang menganggur sambil mencari pekerjaan. Karena itu pengangguran friksional dapat juga disebut sebagaipengangguran sukarela.
Untuk pengangguran structural, adalah pengangguran yang terjadikarena adanya ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja. Struktur ini bisa bedasarkan pendidikan dan keterampilan, jenis kelamin, pekerjaan, industry, geografi, informasi, dan strukstur permintaan tenaga kerja. Sifat pengangguran ini biasanya alamiah, misalnya karena adanya trend kebutuhan kerja dengan spesifikasi dan keahlian tertentu atau bisa pula karena kebijakan pemerintah. Selain itu pengangguran ini muncul ketika tidak memiliki segala keahlian, pelatihan, pengalaman, dan preferensi geografis yang sesuai dengan segala pekerjaan yang ditawarkan dalam suatu perekonomian.
Sedangkan menurut Putong (2000) berdasarkan praktiknya pengangguran dapat digolongkan menjadi penganggur penuh dan setengah menganggur. Pengangguran penuh adalah pengangguran yang benar - benar tidak  dan belum memiliki pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan. Sedangkan setengah menganggur ialah orang bekerja namun tenaganya tidak proposional dengan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan, atu jam kerjanya tidak sampai jam kerja produktif,  yang kadang pula disebut pula pengangguran tak kentara. Disebut pula bahwa setengah menganggur ini orang yang bekerja namu tidak sesuai dengan pendidikan dan keahlian juga disebut sebagai penganggur atau disebut juga pengangguran yang tidak menganggur.
Dalam pengangguran structural terdapata penggolongan pengangguran sukarela. Hal ini karena tidak bersedianya ditempatkan, ataupun alasan laiinya ialah menolak pekerjaan karena alasan pendidikan yang tinggi atau mau bekerja meskipun tidak sesuai dengan pendidikan dan keterampilannya.
Kurva Phillips
            Dalam istilah yang sederhana, Kurva Phillips adalah sebuah grafik yang menunjukan hubungan antara angka inflasi dan angka pengangguran. Pada umumnya teori Kurva Phillips agak berbeda dengan kurva AS, namun kebanyakan ekonom berpendapat bahwa pandangan yang didapatkan dari analisis AS/AD yang menyangkut tingkat harga juga berperilaku untuk tingkat inflasi.
            Dalam kurva dijelaskan bahwa terdapat hubungan yang sangat halus antara tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. Kurva ini menunjukan hubungan antara inflasi dan pengangguran. Pada tingkat inflasi yang rendah kita harus menerima tingginya tingkat pengangguran, dan pada angka pengangguran yang rendah kita harus menerima tingginya tingkat inflasi (Case and Fair, 2004)
            Kurva tersebut menunjukan kombinasi nilai presentase perubahan upah nominal dengan presentase pengangguran yang terjadi. Dalam kurva Phillips lama terdapat titik – titik dalam kurva membentuk diagram pencar atau scatter diagram dan dapat diketahui garis regresinya. Garis regresi tersebut adalah garis yang mewakili titik – titik. Garis tersebut dihasilkan dari presentase perubahan upah nominal dengan presentase pengangguran, dan inilah yang disebut Kuva Phillips .
Kurva Phillips yang sudah direvisi memiliki hubungan dengan kurva phillips yang lama. Didalam gambar dapat dilihat bahwa kurva Phillips menunjukan trade-off antara tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. Seluruh Negara di dunia mengingingkan tingkat penagangguran yang rendah dibarengi oleh tingkat inflasi yang rendah, namu kenyataanya jika terjadi tingkat penganguuran yang rendah maka akan terjadi tingkat inflasi yang tinggi, sebaliknya jika dihadapkan pada tingkat inflasi yang rendah maka tingkat pengangguran yang akan meningkat (Soediyono, 2000)

Analisis AS/AD dan Kurva Phillips
            Jika kurva AD bergeser setiap tahun namun kurva AS tidak mengalami pergeseran maka nilai P dan Y tiap tahun berada pada kurva AS. Bagan hubungan antara P dan Y bergeser ke atas, disisi lain bagan hubungan antara tingkat inflasi san pengangguran akan bergeser kebawah. Dengan kata lain kita akan melihat hubungan Negatif antara Tingkat Inflasi dan Pengangguran.
            Jika Hanya terjadi pergeseran Kurva AS tanpa pergeseran kurva AD maka terjadi hubungan negatif antara P dan Y. Namun jikan AD dan AS keduanya bergeser maka tak ada hubungan yang sistematis antara P dan Y.
            Jika tingkat Inflasi bergantung pada harapan, maka kurva Phillips akan bergeser mengikuti perubahan harapan. Jika ada kenaikan harapan akan inflasi maka akibatnya adalah kenaikan tingkat inflasi, walaupun tingkat pengangguran tidak berubah. Jika tak ada perubahan pada inflasi maka kurva phillips tak akan bergeser. Jika ada harapan kenaikan inflasi maka kurva Phillips akan bergeser ke kanan, dan jika sebaliknya maka kurva phillips akan bergeser ke kiri. Maka akan terjadi sedikit kenaikan tingkat inflasi pada tingkat pengangguran tertentu (Case and Fair, 2004)
Keynesian : Short Run Phillips Curve
            Hasil temuan Profesor Phillips di adopsi oleh Keynesian untuk menjelaskan adanya trade-off antara inflasi dan pengangguran. Seperti kurva Phillips sebelumnya, jika ingin mengurangi tingkat pengangguran maka harga yang harus dibayar adalah tingginya tingkat inflasi. Dalam metode Keynesian,trade-off antara inflasi dan pengangguran dapat dianalisis menggunakan kurva AD-AS.
            Asumsi AD-AS adalah jangka pendek. Faktor produksi umum bersifat tetap (fixed input). Karena itu pertumbuhan penawaran agregat (AS) tidak bisa secepat pertumbuhan permintaan agregat (AD). Dalam hal ini tenaga kerja merupakan input tetap.
Jika penawaran agregat (AS) tidak bisa tumbuh lebih cepat dari permintaan agregat (AD) maka pertumbuhan ekonomi jangka pendek diikuti oleh inflasi. Dan jika ada anggapan bahwa terdapat hubungan yang tetap antara kesempatan kerja (N) dengan tingkat output(Y), maka bertambahnya output akan menambah kesempatan kerja (N2 > N1 > N0). Karena jumlah tenaga kerja dianggap tetap, maka penambahan tenaga kerja akan mengurangi pegangguran (U), maka U2 < U1 < U0. Dalam analisis ini yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara P dan U, jika P naik maka U akan turun (Rahardja, 2008).

Klasik : Long Run Phillips Curve
            Menurut teori klasik, tidak ada trade-off  antara inflasi dan pengangguran, hal ini dikarenakan hasil analisis jangka pendek berbeda dengan analisis jangka panjang. Karna menurut kaum Klasik, kelemahan dari analisis Keynesian adalah dalam dimensi waktu yang berjangka pendek.
Menurut kaum Klasik, dalam jangka panjang perekonomian berada dalam kondisi full employment. Dan bentuk kurva AS menjadi tegak lurus, sehingga peningkatan permintaan agregat hanya akan menyebabkan inflasi (P2 > P1 > P0 ), sementara outpu tidak bertambah atau tetap. Karena itu, maka kurva Phillips jangka panjang berbentuk tegak lurus, sejajar dengan kurva AS. Oleh karena itu kaum Klasik mengatakan bahwa tidak ada trade-off antara inflasi dan pengangguran dalam jangka panjang (Rahardja, 2008).

Pembahasan
Masalah pengangguran merupakan momok yang menakutkan apalagi di Negara yang sedang berkembang. Masalah pengangguran juga dihadapi oleh Negara – Negara maju, namun masalah pengangguran di Negara maju lebih mudah diselesaikan, karena hanya berkaitan dengan Bussiness Cycle,berbeda dengan di Negara berkembang, dengan berbagai  masalahnya yakni : Sempitnya lapangan pekerjaan, Ledakan penduduk, Kelangkaan Investasi ataupun masalah sosial politik. Masalah utama dan nyata yang harus dihadapi oleh pemerintah, tetapi perhatian pemerintah tidak harus fokus terhadap pengangguran saja.
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang atau redenominasi secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, namun bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Dengan kata lain tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling memengaruhi antar sektor. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang dan jumlah uang yang beredar yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga.
Inflasi sering digunakan sebagai target kebijakan pemerintah, karena inflasi juga merupakan masalah yang sangat penting yang tidak bisa diabaikan, karena dapat menimbulkan dampak yang sangat luas. Inflasi pada mulanya di identikan dengan pencetakan uang yang tertalu banyak, yang menyebabkan jumlah uang yang beredar terlalu banyak. Hal tersebut dalpat menyebabkan terjadinya kenaikan harga.
Menurut J.M Keyness, hubungan antara variavel moneter dengan variabel ekonomi riil sangat kuat. Model klasik menyatakan bahwa harga termasuk upah ditentukan oleh mekanisme pasar dan penyesuaian upah nomial tidak ada pada periode tertentu. Model Keynessian menyatakan bahwa ada kemungkinan kuantitas penawaran dan permintaan tenaga kerja tidak sama dan kemungkinan yang sering terjadi adalah kelebihan penawaran tenaga kerja. Hubungan antara tingkat harga dengan tingkat pengangguran tenaga kerja dijelaskan oleh Kurva Phillips yang menyatakan bahwa tingkat upah nominal pada periode tertentu dapat dijelaskan oleh tingkat pengangguran sekarang.
Dari definisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan telah terjadi inflasi (Rahardja, 2008):
a.       Kenaikan harga
b.      Bersifat umum
c.       Berlangsung terus menerus
Sedangkan pengertian dari pengangguran yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik, antara lain pengangguran terbuka (open unemployment) bedasarkan pada konsep seluruh angkatan yang mencari pekerjaan, baik yang mencari pekerjaan pertama kali atau yang pernah bekerja sebelumnya. Sedangkan setengah penganggur adalah pekerja yang masih mencari pekerjaan penuh atau sambilan dan mereka yang bekerja dengan jam kerja rendah atau kurang dari 35 jam kerja dalam satu minggu, dan setengah penganggur sukarela adalah setengah penganggur tapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain (pekerja paruh waktu). Setengah penganggur terpaksa adalah setengah penganggur yang mencari dan bersedia menerima pekerjaan. Pekerja digolongkan setengah penganggur parah bila ia termasuk setengah menganggur dengan jam kerja kurang dari 25 jam dalam satu minggu (Kuncoro, 2006).
Tingkat pengangguran dalam suatu Negara dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Dan akibat jangka panjang dari pengangguran adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh banyak orang.
Pada tahun 1958, dimana para pemikir ekonomi sedang ramai-ramainya bertukar pikiran mengenai teori inflasi, A.W. Phillips berhasil menemukan hubungan yang erat antara tingkat pengangguran dengan tingkat perubahan upah nominal. Penemunannya ini diperolehnya dari hasil pengolahan data empirik perekonomian inggris untuk periode 1861-1957. Kurva phillips yang menghubungkan persentase perubahan tingkat upah nominal dengan tingkat pengangguran seperti diuraikan di atas biasa disebut dengan kurva phillips dalam bentuk asli. Di samping itu, ada juga kurva phillips dalam bentuk versi baru yang biasa disebut dengan kurva phillips yang sudah direvisi yang digunakan untuk mengukur tingkat inflasi (Reksoprayitno, 2000).

Argumentasi untuk menjelaskan kurva phillips dirumuskan dengan formulasi sebagai berikut (Yuliadi,2008):
Laju inflasi = Tingkat kenaikan upah – Tingkat kenaikan produktivitas
Dari kurva phillips tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat pengangguran semakin cepat kenaikan tingkat upah dan harga; dan semakin tinggi harapan inflasi akan semakin cepat pula kenaikan tingkat upah (Suparmoko, 2000).
Ketidakstabilan ekonomi yang terjadi tidak hanya terkait oleh masalah pengangguran saja, akan tetapi masalah inflasi juga merupakan masalah yang sangat penting yang arus dihadapi oleh semua negara di dunia. Bahkan, peran Bank Sentral di berbagai negara sudah identik dengan peran yang mengadopsi target inflasi, baik secara eksplisit maupun implisit.
Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang yang beredar baik uang tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut mempengaruhi laju inflasi. Karena suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM tersebut cukup memberatkan masyarakat lapisan bawah karena dapat menimbulkan multiplier effect, mendorong kenaikan harga jenis barang lainnya yang dalam proses produksi maupun distribusinya menggunakan BBM.
Inflasi senantiasa merupakan ‘momok’ yang mencekam perekonomian. Inflasi adalah kenaikan harga yang berlangsung secara terus menerus. Kenaikan harga yang berlangsung sekali atau dua kali saja atau kenaikan hargainsidental, lalu reda kembali bukan inflasi namanya. Kenaikan harga insidentalseperti ini sering kita jumpai, misalnya menjelang datangnya bulan Ramadhan atau Idul Fitri. Menjelang saat istimewa seperti itu, permintaan orang akan barang dan jasa meningkat. Oleh karenanya supply tidak dapat menyusuldemand sehingga menyebabkan kenaikan harga. Nanti sesudah lebaran, permintaan masyarakat turun lagi ke tingkat normal dan hargapun turun pula. Hal ini bukan disebut sebagai inflasi (Rosyidi, 2005).
Inflasi terjadi ketika tingkat harga umum naik. Tingkat inflasi adalah persentase perubahan pada indeks harga dari satu periode ke periode berikutnya. Indeks harga pokok adalah indeks harga konsumen (CPI) dan GDP Deflator. Seperti penyakit, inflasi bersal dari banyak sebab. Terkadang, inflasi yang melambung menyebabkan harga naik sebesar 10 atau bahkan hingga 100 persen bahkan sampai 200 persen setiap tahunnya. Inflasi berlebihan ketika mencetak uang untuk menekan mata uang dan harga mulai naik dalam setiap bulan.
Inflasi mempengaruhi perekonomian melalui redistribusi pendapatan dan kekayaan dan melalui ketidakefisienan. Inflasi yang tidak terantisipasi sering menguntungkan debitur, pencari keuntungan dan siap menerima resiko. Hal tersebut tentu sangat merugikan kreditur, kelas berpendapatan tetap dan menakuti para investor. Inflasi menimbulkan penyimpangan pada harga relatif, tarif pajak, dan tingkat bunga nyata. Orang-orang lebih sering pergi ke bank, pajak naik perlahan, dan ukuran pendapatan mungkin akan terganggu. Dan ketika bank sentral mengambil langkah untuk menurunkan inflasi, biaya nyata untuk menurunkan output dan ketenagakerjaan bisa menjadi begitu besar.
Inflasi juga menimbulkan sejumlah efek bencana lain, yaitu mendistorsi dasar perekonomian diantaranya kalkulasi bisnis. Karena harga-harga tidak berubah secara serentak, hal ini menyulitkan bisnis dalam membedakan mana perubahan yang sementara dan mana perubahan yang langgeng, akan sulit bagi pebisnis untuk mengukur permintaan konsumen ataupun biaya operasional mereka (Syahdan, 2007).
Setiap saat, perekonomian memiliki tingkat inflasi yang diharapkan. Inilah tingkatan dimana orang-orang mulai mengantisipasi dan mempertimbangkan inflasi dalam kontrak kerja dan perjanjian lainnya. Tingkat inflasi harapan merupakan keseimbangan jangka pendek dan bertahan sampai terjadi goncangan ekonomi.
Pada kenyataannya, perekonomian terus mengalami goncangan harga. Goncangan terberat yang menjauhkan inflasi dari tingkat inertial adalah cost push inflation and demand pull inflationDemand pull inflation berasal dari pengeluaran yang berlebihan untuk belanja barang, menyebabkan kurva permintaan keseluruhan bergeser ke kanan atas. Upah dan harga kemudian naik di pasaran. Cost push inflation adalah fenomena baru pada perekonomian industri modern dan terjadi ketika biaya produksi naik walau pada masa tingginya pengangguran dan kapasitas tidak terpakai.
Kurva Phillips menunjukkan hubungan antara inflasi dengan pengangguran. Dalam jangka pendek, penurunan satu tingkat berarti menaikkan yang lainnya. Tetapi kurva jangka Phillips jangka pendek cenderung bergeser terus selama inflasi yang diharapkan dan faktor lainnya berubah. Apabila pembuat kebijakan bermaksud menjaga pengangguran di bawah NAIRU (Non – Accelerating Inflation Rate of Unemployment), maka inflasi akan cenderung naik.
Teori inflasi modern berpijak pada konsep NAIRU, yaitu tingkat pengangguran terendah yang dapat dinikmati tanpa resiko kenaikan inflasi. Hal ini mewakili tingkat pengangguran dari sumber daya dimana pekerja dan produk pasar berada dalam keseimbangan inflasi. Berdasarkan teori NAIRU, tidak ada pertukaran permanen antara pengangguran dan inflasi, dan kurva Phillips jangka panjang adalah vertikal (Samuelson dan Nordhaus, 2004 danRahardja, 2008).
Tingginya angka inflasi akan menurunkan daya beli masyarakat. Untuk bisa bertahan pada tingkat daya beli seperti sebelumnya, para pekerja harus mendapatkan gaji paling tidak sebesar tingkat inflasi. Kalau tidak, rakyat tidak lagi mampu membeli barang-barang yang diproduksi. Jika barang-barang yang diproduksi tidak ada yang membeli maka akan banyak perusahaan yang berkurang keuntungannya. Jika keuntungan perusahaan berkurang maka perusahaan akan berusaha untuk mereduksi cost sebagai konsekuensi atas berkurangnya keuntungan perusahaan. Hal inilah yang akan mendorong perusahaan untuk mengurangi jumlah tenaga kerja nya dengan mem – PHK (Putus Hubungan Kerja) para buruh.
Salah satu dari jalan keluar dari krisis ini adalah menstabilkan rupiah. Membaiknya nilai tukar rupiah tidak hanya tergantung kepada money supllydari IMF, tetapi juga investor asing (global investment society) mengalirkan modalnya masuk ke Indonesia (capital inflow). Karena hal inilah maka pengendalian laju inflasi adalah penting dalam rangka mengendalikan angka pengangguran.
Keadaan di Indonesia
            Dalam teori yang telah kita bahas, bahwa ketika pemerintah berniat untuk menurunkan menurunkan tingkat pengangguran yang harus menanggung kenaikan tingkat inflasi. Berikut data inflasi dan pengangguran di Indonesia
Tahun
Tingkat Pengangguran
Tingkat Inflasi
2002
9.06 %
10.00 %
2003
9.50 %
5.10 %
2004
9.86 %
6.40 %
2005
10.26 %
17.11 %

Setelah dalam sepuluh tahun terakhir laju inflasi nasional mampu dipertahankan di bawah angka sepuluh persen, namun pada tahun 2005 laju inflasi akhirnya menembus angka 17.11 persen di barengi pada tahun 2002 mencapai 10.00 persen. Laju inflasi tahun 2005 itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan inflasi pada tahun 2004 yang hanya mencapai 6.40 persen. Hal ini disebabkan inflasi yang ditimbulkan dari pengurangan subsidi BBM, sehingga menaikan harga – harga pada tahun 2005. Masyarakatpun memiliki daya beli yang lema dan berdampak pada bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia.
            Daya beli masyarakat yang menurun jelas menurunkan investasi. Jika investasi menurun maka perusahaan akan memperoleh profit yang menururn, ditambah lagi tingginya pajak yang di tetapkan oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan investasi sulit berkembang dan kesempatan kerja semakin sempit. Keadaan seperti ini otomatis menambah tingkat pengangguran semakin tinggi.
            Disinilah kita mengerti pentingnya peran pemerintah dalam mengatasi pengangguran dan inflasi. Kondisi yang terjadi adalah, inflasi memebaik tapi tidak dibarengi dengan membaik atau berkurangnya tingkat pengangguran yang ada. Sehingga roda perekonomian bisa dikataka macet.
Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak
dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil
kesimpulan mengenai masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi
tidak semata ditentukan faktor moneter, tapi juga faktor fisik. Ada empat
faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang yang beredar baik uang
tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik
barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut mempengaruhi
laju inflasi. Suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan
negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik
prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah
yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi tahun 2005 hingga mencapai 17.11 persen. Dan efek domino yang ditimbulkan pun masih menjadi pemicu kenaikan harga lainya.
Kesimpulan
Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum batang-barang secara terus-menerus. Ini tidak bearti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu nik dengan persentase yang sama. Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Masalah pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal yaitu masalah pokok makro ekonomi yang paling utama.
Kerugian dari pengangguran merupakan beban kejiwaan, keuangan dan sosial bagi para pengangguran. Disamping itu juga terdapat kerugian output yang hanya diseimbangi oleh sedikitnya waktu luang yang dapt dinikmati oleh pengangguran. Dipihak lain pengangguran bersifat tidak sukarela. Begitu juga dengan inflasi. Inflasi yang tidak dapat diselesaikan secara sempurna mengakibatkan pendistribusian kembali antar sektor. Inflasi yang tidak diharapkan menguntungkan para debitur moneter dan merugikan para kreditur moneter.
Kurva Phillips menggambarkan trade-off antara tingkat inflasi dan pengangguran. Kurva ini menunjukan kombinasi nilai presentase perubahan upah nominal dengan presentase pengangguran yang terjadi. Seluruh Negara di dunia mengingingkan tingkat penagangguran yang rendah dibarengi oleh tingkat inflasi yang rendah, namu kenyataanya jika terjadi tingkat penganguuran yang rendah maka akan terjadi tingkat inflasi yang tinggi, sebaliknya jika dihadapkan pada tingkat inflasi yang rendah maka tingkat pengangguran yang akan meningkat.
Dapat disimpulkan dari penjelasan tersebut di atas bahwa ketika pemerintah berniat untuk menurunkan menurunkan tingkat pengangguran yang harus menanggung kenaikan tingkat inflasi dalam perekonomian nasional.

Daftar Pustaka
-       Agus Sugiono. 2001. Ringkasan Pemikiran Keynesian Baru. Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada.
-       Biro Pusat Statistik. Keadaan Angkatan Kerja Indonesia Berbagai Edisi. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
-       Case, Karl E. and Fair, Ray C. Macroeconomic . PT. Index Gramedia. Jakarta : 2004.
-       Dharendra Wardhana. 2006. Pengangguran Struktural Di Indonesia: Keterangan Dari Analisis SVAR Dalam Kerangka Hysteresis. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia vol.3 no., 2006. Universitas Gadjah Mada.
-       Dornburch, Rudiger and Fischer, Stanley Makroekonomi . Erlangga. Jakarta : 1997.
-       Endang Setyowati. 2007. Model Dinamis Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi dan Pengangguran di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia vol.5 no.3 November 2011.
-        Kuncoro, Mudrajad. Ekonomi Pembangunan. Unit Penerbit dan Percetakan STIM YKPN. Yogyakarta : 2006.
-       Mankiw, N. Gregory. Pengantar Ekonomi Makro. Penerbit Salemba Empat. Jakarta : 2006.
-       Manurung, Jonni dan Manurung, Adler Haymans. Ekonomi Keuangan dan Kebijakan Moneter. Penerbit Salemba Empat. Jakarta : 2009.
-       Putong, Iskandar. 2002. Pengantar Ekonomi Mikro & Makro : Edisi 2. Jakarta: Ghalia Indonesia
-       Rahardja, Prahatma dan Manurung, Mandala. Pengantar Ilmu Ekonomi. Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia. Jakarta : 2008.
-       Reksoprayitno, Soediyono. Ekonomi Makro. BPFE. Yogyakarta : 2000.
-       Reni Wulandari. 2006. Pengaruh Tingkat Inflasi Terhadap Tingkat Pengangguran di Indonesia. Skripsi Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiah Malang, 2006.
-       Rosyidi, Suherman. Pengantar Teori Ekonomi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta : 2005.
-       Sadono Sukirno. 1994. Pengantar Teori Ekonomi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
-       Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D. Ilmu Makroekonomi. PT. Media Global Edukasi. Jakarta : 2004.
-       Solikin. 2004. Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 2004.
-       Sukirno, Sadono. Ekonomi Pembangunan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta : 2010.



-       Suparmoko. Pengantar Ekonomika Makro. BPFE. Yogyakarta : 2000.

0 komentar:

Post a Comment